Mulanya sang Ibu tidak begitu terkejut melihat putranya
pergi ke masjid menunaikan shalat jamaah lima kali dalam sehari semalam.
Bahkan, tampak seakan ia tidak rela bila buah
hatinya yg masih kanak2 melaksanakah smua shalat lima waktu. Baginya, sang anak
masih terlalu hijau untuk melaksanakan shalat. Seolah shalat telah merampas
buah hatinya, dan tidak memberinya manfaat. Shalat tlah membuat anaknya penat,
dan sungguh tidak menyenangkan. Shalat hanya menyia-nyiakan waktunya dan tidak
membuatnya disiplin.
Namun sungguh menakjubkan, di usianya yg tidak
lebih dari sepuluh tahun, si anak dgn polos menjawab kegalauan ibunya. Ia
menolak dgn halus keinginan ibunya agar ia tidak perlu bersusah payah untuk
shalat, "Ibu, dgn shalat aku merasa bahagia sekali. Dengan shalat, aku
merasa lebih giat, waktuku teratur dgn baik, PR sekolah mampu aku kerjakan
semuanya, pelajaran sekolah dapat aku ulangi, dan aku masih punya waktu untuk
bermain."
Saat sang ibu merasa tidak mampu lagi untuk
membujuk buah hatinya untuk meninggalkan ketekunannya melaksanakan shalat
berjamaah yg dianggapnya semua itu terlalu dini bagi anaknya, ia pun mengadukan
persoalan buah hatinya itu kepada sang suami. Sang ibu benar-benar merasa bahwa
shalat telah menguasai pikiran anaknya.